Wanita Dalam Islam dan Cara Nabi Menghormati Istrinya


yang katanya sudah modern—seperti saat ini, ternyata manusia masih mengalami masalah bagaimana memposisikan wanita. ironisnya, sebagian mengacu pada apa yang sebenarnya sudah sangat kuno, yakni feminisme.
“Istilah femina, feminisme, feminis berasal dari bahasa Latin feiminusFei artinya iman, minus artinya kurang, jadi feminus artinya kurang iman. Wanita di Barat, sejarahnya, memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Wajah dunia Barat pun dianggap terlalu macho,” demikian papar Gus Hamid dalam bukunya Misykat(halaman 265).
Lain halnya dengan Yahudi. Jika wanita sedang haid, mereka pada umumya diisolasi, tidak diberi makan, minum dan tidak diizinkan berkumpul di rumah dengan keluarganya.
Hal itu didapati para sahabat Nabi di Madinah, sehingga mereka pun bertanya perihal tersebut kepada Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam.
Pertanyaan sahabat itu menjadi sebab turunnya satu ayat dari surah Al-Baqarah.
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا۟ النِّسَآءَ فِى الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّـهُ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ التَّوّٰبِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222).
Berdasarkan ayat tersebut Nabi Muhammad memberikan jawaban, bahwa wanita yang sedang haid pun sebagaimana juga manusia: diberi makan, minum, dan berkumpul bersama keluarganya di rumah dan berbuat sesuatu terhadap mereka sebagai kewajaran kecuali berhubungan intim dengan suaminya. Demikian seperti termaktub dalam buku Perempuan dalam Literatur Islam Klasik editor Ali Muhanif (halaman 86).
Dengan kata lain, Islam sangat memuliakan wanita. Dan, itu berarti Nabi sangat memuliakan istri-istrinya. Lantas seperti apakah Nabi dalam interaksi rumah tangga bersama istri-istrinya?
Isham Muhammad Asy-Syarif dalam bukunya, An-Nabi Shallallahu Alayhi Wasallam ma’a jauzatihi menjelaskan bahwa Nabi sangat menghormati istri-istrinya. Lebih-lebih terhadap Khadijah Radhiyallahu Anha sebagai istri pertama.
Pertama, menghargai keimanan dan pengorbanannya.
“Dia beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, membantuku dengan hartanya ketika orang-orang tidak mau memberi bantuan, dan Allah Ta’ala, memberiku anak darinya ketika Dia tidak memberiku anak dari wanita lain.” (HR. Ahmad).
Hadits itu disampaikan Nabi kepada Aisyah Radhiyallahu Anha ketika menjelaskan perihal kedudukan Khadijah di dalam hatinya.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad sangat menghormati istrinya atas dasar iman meski telah tiada. Terhadap yang masih hidup, tentu Nabi amat menghormati dan memuliakannya.
Kedua, Suka menyenangkan hati istri.
Aisyah bercerita bahwa suatu hari orang-orang Habsyi masuk masjid lalu bermain. Rasulullah bertanya kepadaku, “Wahai Humairaa, apakah kamu ingin melihat mereka?” Aku menjawab, “Ya.”
Beliau lalu berdiri di pintu. Aku mendekat lalu menyandarkan daguku pada pundak beliau dan menempelkan wajahku pada pipi beliau. Salah satu ucapan mereka ketika itu adalah “Wahai Abul Qasim, selamat berbahagia.”
Selanjutnya Rasulullab bersabda, “Sudah cukup bagimu.” “Rasulullah, jangan terburu-buru,” kataku. Akhirnya beliau berdiri seperti semula.” (HR. Nasa’i).
Dengan memahami dan mengamalkan apa yang Nabi teladankan dalam interaksi beliau dalam berumah tangga, insya Allah akan mudah bagi para istri untuk mendapatkan ridho-Nya, karena istri yang dimuliakan oleh suaminya akan juga membahagiakan hati suaminya hingga mendapat kerdihoannya.
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
“Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai)
Dan, yang tidak kalah menarik adalah, saat peradaban lain memarginalkan wanita, Islam justru menjunjungnya. Satu di antara buktinya adalah adanya perawi hadits dari kalangan wanita yang juga diakui secara ilmiah.
Seperti Aisyah misalnya, putri Abu Bakar itu meriwayatkan 2210 hadits. Kemudian ada pula Ummu Salamah, Habibah, Maimunah, Zinab, Shafiyah, Habshah, dan Juwairiyah.
Dengan demikian menjadi terang benderang bagi kita bahwa feminisme tidak dibutuhkan dalam Islam, sebagaimana laut tidak membutuhkan garam.
Wallahu a’lam.