Bulan suci Ramadan menjadi saat tepat bagi umat Muslim di seluruh dunia untuk meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri pada Tuhan. Hanya saja ada keterbatasan tersendiri bagi astronaut untuk beribadah ketika sedang menjalankan misi jelajah luar angkasa.
Mengingat, kondisi gravitasi rendah membuat beribadah tidak semudah ketika dilakukan di Bumi.
Shalat lima waktu misalnya, umumnya dilakukan pada jam-jam jelang matahari terbit hingga tenggelam. Namun seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, sejumlah ahli berpendapat astronaut yang tengah menjalankan misi luar angkasa diperbolehkan untuk salat kurang dari lima kali sehari.
Menjalankan misi jelajah luar angkasa tak menyurutkan niat astronaut muslim seperti Sultan Salman Al Saud dari Arab Saudi dan Sheikh Muszaphar Sukhor dari Malaysia untuk tetap menjalankan kewajiban beribadah. Pertanyaannya, bagaimana cara mereka melakukan ibadah puasa dan salat?
Stasiun Antariksa Internasional (ISS) membuat pedoman beribadah di luar angkasa bagi astronaut Islam. Pedoman tersebut dibuat semenjak keberangkatan Sheikh Muszaphar Sukhor pada 2006.
Badan Antariksa Malaysia (ANGKASA) bekerja sama dengan Department of Islamic Development Malaysia (JAKIM) menggelar Seminar on Islam and Living in Space.
Dari seminar tersebut astronot Muslim tetap bisa menjalankan ibadah meski membutuhkan beberapa penyesuaian, mengingat kondisinya tidak sama dengan di Bumi. Pedoman tersebut mengatur tata cara melakukan wudhu, tayamum, salat hingga berpuasa.
Kondisi di luar angkasa yang kurang air tidak memungkinkan astronot untuk berwudhu dengan air. Dengan demikian, ISS juga membuat pedoman untuk tayamum untuk menggantikannya.
Seperti tayamum di Bumi, astronaut perlu menggosok telapak tangan pada permukaan yang bersih lalu mengusapkan pada bagian tubuh seperti muka, tangan dan telinga.
Khusus untuk salat lima waktu, astronaut bisa melakukannya dengan cara dijamak (digabung) dan qasar (diperpendek) tanpa perlu meng-qadha’ (mengganti) salat.
Namun salat wajib maupun tarawih bisa dilakukan sendiri jika tidak ada awak kapal lain yang seagama.
Gravitasi yang rendah saat di luar angkasa juga akan membuat berganti posisi salat sulit dilakukan.
Astronaut diperbolehkan berbaring ke samping kanan, terlentang atau duduk menghadap qiblat ketika melakukan salat. Kelopak mata bisa menggantikan gerakan salat sambil membayangkannya.
Untuk waktu salat, astronaut bisa melakukannya sesuai dengan zona waktu di mana pesawat luar angkasa diluncurkan. Arah qiblat sendiri diprioritaskan menghadap ke Ka’bah (jika bisa mengenali dari luar angkasa), proyeksi Ka’bah, atau ke Bumi.
Untuk ibadah puasa Ramadan, para astronaut diberi pilihan untuk tetap menjalankannya atau meng-qada’ (mengganti) ketika sudah berada di Bumi.
Jika memilih untuk tetap melaksanakan puasa, waktu berpuasa mereka disarankan sama dengan zona waktu di mana mereka memulai proses peluncuran.
Sheikh Muszaphar Shukor yang saat itu menumpang pesawat antariksa Rusia di bulan puasa berharap bisa melaksanakan ibadah saat menjalankan misi 10 hari di ISS. Selama latihan, Shukor tetap menjalankan puasa meskipun tujuan utamanya adalah melakukan penelitian.
“Islam sangat toleran. Jika saya tidak bisa berpuasa di antariksa saya selalu bisa kembali dan melakukannya di Bumi,” kata Shukor sebagaimana dilaporkan Reuters.
Sumber: cnnindonesia.com