Memahami Hakikat Kalimat “Ihdinash Shiraathal Mustaqiim”


“Ihdinash Shiraathal Mustaqiim. Tunjukan kami jalan yang lurus.”
Tidak sah shalat kita tanpa membaca surat al-Fatihah di tiap raka’atnya. Tujuh ayat ini, adalah doa kita agar Allah karuniakan petunjuk ke jalan yang lurus. Kita membacanya setiap hari sekurangnya 17 kali, sebab ialah doa terpenting, permohonan terpokok, dan pinta paling utama.
“Jalan Lurus,”.
Sesaat kita mendengar kata itu, mungkin terbayang disebagian benak kita bahwa jalan lurus itu bagus, halus, dan mulus.
Kita mengira bahwa shiraatal mustaqiim adalah titian yang gangsar dan tempuhan yang lancar. Tergambar pula, ia adalah jalan bebas hambatan dan tiada sesak, tanpa rintangan dan tiada onak.
Kita menyangka bahwa di jalan yang lurus itu, segala keinginan terkabul, setiap harapan terwujud, dan semua kemudahan dihamparkan. Frasa “jalan yang lurus” membuat kita mengharapkan jalur yang tanpa deru dan tanpa debu.
Maka kadang kita terlupa, bahwa penjelasan jalan yang lurus itu tepat berada di ayat berikutnya. Jalan yang lurus itu adalah, jalan orang-orang yang telah Kauberi nikmat. Bukan jalan orang-orang yang Kaumurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat.
Maka membentanglah Al-Qur’anil Karim sepanjang 113 surah bakda Al-Fatihah untuk memaparkan bagi manusia jalan orang-orang yang telah diberi nikmat itu.
Ialah jalan Adam dan Hawa; jalan Nuh, Hud, dan saudaranya; jalan Dawud dan putranya; jalan Ayyub dan Yunus; jalan Zakariyya dan Yahya, serta Maryam dan ‘Isa. Jalan indah itu sesekali ditingkahi jalan mereka yang dimurka dan sesat; jalan iblis dan Fir’aun, hingga Samiri dan Qarun.
Cerita kehidupan Adam hingga ‘Isa. Kisah mereka memberikan makna-makna yang mengokohkan cipta, rasa, dan karsa Sang Rasul terakhir dan ummatnya yang bungsu.
Mereka menghadapi kekejaman Abu Jahl, kekejian Abu Lahab, keculasan Al-‘Ash ibn Wail, tuduhan Al Walid Ibn Al-Mughirah, dongengan An-Nazr ibn Harits, rayuan ‘Utbah ibn Rabi’ah, cambukan ‘Umayyah ibn Khalaf, hingga timpukan ‘Uqbah ibn Abi Mu’ith.
Rasulullah memerah wajahnya pada suatu hari, ketika beliau bangkit dari berbaring berbantal surban di dekat Ka’bah. Seorang lelaki bernama Khabab ibn Al-Arat, lelaki pandai besi yang kerap disksa Abu Jahl dengan diikat pada selongsong logam dan dipanggang di atas bara peleleh besi; hari itu menghadap dan berbisik.
“ Ya Rasulullah,” demikian lirih dia berkata, seakan masih merasakan bagaimana punggungnya melepuh pecah, dan arang penyiksa terpadam oleh tetesan cairan luka bakarnya,”tidakkah engkau berdoa atau menolong kami?”
Di antara kedua alis lelaki bertaut junjungnya, ada pembuluh yang kian membiru. Itu pertanda bahwa manusia yang paling pengasih ini marah karena Rabbnya.
”Demi Allah,” ujar beliau bergetar,”orang-orang sebelum kalian ada yang disisir dengan sikat besi hingga terpisah daging dari tulangnya, ada yang digergaji tubuhnya hingga terbelah badannya; tapi semua itu tak memalingkan mereka dari’Laa ilaaha illallaah; tiada sesembahan yang benar selain Allah.”
Khabab sama sekali tidak bersalah ketika bertanya. Khabab sungguh harus difahami keseriusannya. Khabbab telah mengorbankan seluruh dirinya; dengan sakit dan luka, dengan suksa dan nista, demi risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Tetapi demikianlah Sang Nabi hendak mengajarkan padanya dan kepada kita, apa makna jalan yang lurus.
Dan sesungguhnya allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus. (Q.s. Maryam [19]:36)
Jalan lurus itu diikat oleh suatu hakikat. Yakni beribadah hanya kepada allah satu-satunya, tiada sekutu bagi-Nya. Bahwa di dalamnya ada nestapa dan derita, ia penggenap bagi kebersamaan dan cinta.
Didalamnya, ada kehilangan dan duka, ia hanya penguat bagi sikap syukur dan menerima. Bahwa di dalamnya ada pedih dan siksa, ia hanya penyempurna bagi rasa nikmat dan mulia.
“Demi Allah, Dia pasti akan menyempurnakan urusan ini,” demikian sang Nabi melanjutkan sabdanya pada Khabbab, kini dengan senyum yang bercahaya,”hingga seseorang berjalan dari Shan’a ke Hadhramaut dan tiada yang ditakutinya selain Allah. Tetapi kalian tergesa-gesa.
Sumber: islampos.com